Kamis, Agustus 25, 2011

Pelan untuk pelancong


Sumber: Esquire
Ide kreatif Kafi Kurnia dan beberapa temannya membuahkan sebuah sebutan baru bagi kota Yogyakarta. Mereka memproklamasikan Yogyakarta sebagai Ibukota Pelan di dunia. Bukan sebagai ejekan atau pelecehan, tapi justru aksi ini dilakukan sebagai bentuk pemasaran pariwisata kota Yogya. Sebagai dukungan aksinya, Kafi dan temantemannya, mendirikan sebuah pasar swalayan ‘pelan’ pertama di dunia di areal seluas 1500 meter persegi yang diberi nama Roemah Pelancong. Anda bisa menikmati minuman pelan, makanan pelan, musik pelan, permainan pelan, seni pelan, dan bahkan, oleh-oleh pelan, di tempat ini. Hal lainnya yang bisa Anda nikmati adalah galeri tetap Ismail Kribo, artis komik dan karikatur koran Kompas Minggu. Penasaran? Ayo, segera ke kota terpelan di dunia ini.

Selasa, Agustus 16, 2011

Ahmad Faisal Ismail: Berkibar Bersama Sukribo

Sumber: HenryKomik

Nama lengkapnya Ahmad Faisal Ismail, tapi ia lebih populer dengan nama Mail Sukribo. Mail memang pencipta tokoh kartun Sukribo yang secara berkala muncul di Kompas edisi Minggu. Bahkan, Sukribo jua sudah mucul di kaus, mug, dan lainnya. Ia juga punya studio Sebikom yang mengerjakan berbagai karya ilustrasi.

Sabtu, Agustus 13, 2011

Roemah Pelantjong Gelar Pameran “Sajadah dan Kerudung”

Sumber: Kapanlagi
Mulai tanggal 12 Agustus hingga Lebaran, Roemah Pelantjong di Djogdjakarta menggelar sebuah acara esklusif berupa pameran “Sajadah dan Kerudung”. Pameran unik ini digagas Roemah Pelantjong sebagai salah satu event untuk merayakan Ramadhan 2011. Event seperti ini direncanakan akan dilakukan secara teratur di bulan-bulan berikutnya dengan berbagai tema kreatif dan unik.

Kurator senior Roemah Pelantjong, KAFI KURNIA mengatakan bahwa Roemah Pelantjong akan terus menerus menggali berbagai kekayaan budaya dan etnik Indonesia dan mengangkatnya menjadi sebuah event seni, semata-mata sebagai gerakan motivasi untuk membangkitkan gairah para pengrajin untuk terus menerus berinovasi.

KAFI KURNIA, berharap misi dan visi Roemah Pelantjong – Djogdjakarta sebagai sebuah kawah candradimuka untuk menggagas inovasi dan kreativitas karya-karya kontemporer akan terus berkelanjutan dan bisa sekaligus memposisikan Djogdjakarta sebagai tujuan utama pariwisata di ASIA.

Pameran “Sajadah dan Kerudung” sangat kritis dan strategis, karena walaupun jumlah produk yang dipamerkan sangat terbatas, namun pameran ini mampu menampilkan sebuah keberanian baru untuk berkreasi, terutama karena karya-karya yang ditampilkan mewakili desainer muda dengan interpretasi segar.

Sebagai contoh, Sajadah yang akrab dengan ritual berdoa dan shalat yang biasanya ditampilkan dalam tenunan permadani secara klasik, kini tampil berbeda dengan kain berkonsep perca yang unik. Sejarah teknik menjahit dengan perca, telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Awalnya barangkali adalah untuk menyelamatkan potongan-potongan sisa kain tua, lalu menjahitnya menjadi satu, dan menjadi kain yang lebih berguna seperti selimut. Itu sebabnya teknik ini banyak berkembang diberbagai jaman revolusi dan kolonial, ketika rakyat mengalami masa-masa sulit. Kain-kain yang disambung menjadi satu ini, awalnya tidak memerhatikan motif dan bentuk, tampil seadanya. Lalu berkembang menjadi keragaman motif yang memukau. Dan dikenal dalam berbagai budaya etnik, mulai dari Mesir, Rusia hingga Amerika.

Sajadah yang ditampilkan di Roemah Pelantjong, kali ini adalah juga karya seorang pengrajin Ibu rumah tangga dari Jakarta, yang awalnya bereksperimen dengan sisa kain. Lalu dikembangkan dengan menggunakan kain dan bahan berkualitas tinggi, menampilkan motif mozaik dengan warna dan desain kontemporer. Dibuat dengan bantuan perangkat lunak modern dan tingkat ketepatan (presisi) yang sangat tinggi, masing-masing sajadah yang dibuat mempunyai kekhasan tersendiri, tidak ada yang sama persis.

Produk kedua yang dipamerkan adalah kerudung. Sebuah asesori yang dipakai kaum perempuan dalam berbagai agama termasuk Islam. Kerudung menampilkan perempuan dalam sosok yang khusuk dan anggun. Dalam berbagai budaya, kerudung seringkali dipakai dalam saat-saat penting seperti ketika berduka cita, atau peristiwa keagamaan yang sangat besar, termasuk Lebaran. Kali ini Roemah Pelantjong menampilkan dua sumbu desain yang sangat berbeda dan esklusif.

Yang pertama, Roemah Pelantjong bekerja sama dengan seorang desainer muda asal Djogdjakarta menampilkan desain batik kontemporer, yang membuat interpretasi, baik gaya, warna dan motif yang baru. Desain kedua sangat tumpul dan lebih mono-krome, yaitu berupa aneka kerudung terbuat dari sutra liar. Tampil dalam warna yang sangat sederhana, apa adanya namun berkonsep ramah lingkungan yang berbeda. Esklusifitas dalam kesederhanaan alam. Keduanya menampilkan sebuah harmonisasi dan integritas yang baru dan segar.

Sebagai bonus, kurator senior Roemah Pelantjong, KAFI KURNIA, juga menampilkan berbagai sarung dengan warna-warna yang berlawanan dengan desain klasik terdahulu. Motif sarung secara klasik yang sangat maskulin, berupa garis yang berpotongan membentuk kotak, sangat tradisional, dikenal bukan saja di Indonesia, tetapi juga dibeberapa negara. Motif desain yang dikenal sebagai ‘tartan’ ini, misalnya dikenal secara filosofis dan mengakar di Scotlandia dan Amerika. Uniknya bagaimana motif tartan bisa masuk dalam motif sarung di Indonesia, masih menjadi misteri tersendiri. Beberapa rumah mode di luar negeri musim panas 2011, kembali mengangkat motif ‘tartan’ dalam berbagai desain.

Sarung yang ditampilkan Roemah Pelantjong, walaupun masih mengakar pada desain ‘tartan’ yang klasik namun dengan tampilan warna yang sangat bergairah dan ‘festive’. Tampilan warna yang sangat berani ini dimaksud sebagai arahan modis yang baru.

ROEMAH PELANTJONG dengan pameran mini ‘Sajadah dan Kerudung’ berusaha menampilkan sebuah kesegaran yang baru, dengan gaya bergagas inovatif. Menjadikan Lebaran menjadi lebih marak namun sekaligus punya arti yang lebih dalam. (cg/pr/wim)

Minggu, Agustus 07, 2011

Kafi Kurnia: Sensasi Bamboo Sauruss

Sumber: Gatra

JAKARTA-Ingin suasana berbeda sambil menunggu bedug buka puasa, silahkan datang ke Pacific Place! Di sana Anda akan menemukan suasana masa silam yang romantik. Adalah kelompok perupa Q+ atau Q‐Plus, yang mencoba menghidupkan suasana purba dengan ekspresi masa kini. Mereka menggagas ritual puasa ini dengan sebuah perjalanan spiritual yang sangat unik. Sebuah patung T‐ Rex yang telah punah, kembali dihidupkan dan dibuat dari anyaman bamboo setinggi 3 meter.

Patung T‐Rex dari anyaman bamboo ini lalu diberi motif batik parang, dan rencananya akan di pamerkan di Pacific Place selama bulan Puasa. Patung ini diberi nama Bamboo Sauruss. Gagasan ini pertama kali diungkap, Andi Ramdani dari Q+, lalu bergulir menjadi sebuah ide kolaborasi bersama Ikro’ Ahmad Ibrahim, Anton Win, Didi ‘797’, Sunardi St, Tri Pandrong, Fandi Panda, dan Akbar Bangkit.

Kafi Kurnia, kurator dari Lentur Gallery di Roemah Pelantjong – Djogdjakarta menjelaskan bahwa Bamboo Sauruss merupakan sebuah simbolisasi perjalalanan spiritual untuk sebuah preservasi iman dan pencarian jati diri kembali (reinventing oneself). Itu sebabnya Bamboo Sauruss diberi tambahan embel‐embel thema “A Renewable Faith”.

Bamboo Sauruss menurut KAFI KURNIA sarat makna dan perlambang. T‐Rex sang dinosaurus yang telah jutaan tahun punah adalah simbolisasi titik awal. Simbolisasi ini misalnya dalam sebuah pertunjukan wayang kulit selalu dihadirkan dalam bentuk gunungan. Bamboo Sauruss setinggi 3 meter ini juga merupakan simbolisasi gunungan secara kontemporer.

Simbolisasi gunungan bukanlah sebuah sikap sombong dan arogan. Melainkan sebuah titik awal untuk merenung, meditasi dan introspeksi. Orang‐orang zaman dahulu sudah menggunakan bentuk gunung ini untuk barang sehari‐hari seperti caping, topi bambu berbentuk kerucut, sehingga air hujan tidak mengganggu kepala, akan tetapi mata tetap dapat memandang dengan leluasa.

Selanjutnya, atap rumah joglo, yang menunjukkan bahwa pusat bangunan dengan lantai tertinggi terlelak di pusat, dibawah puncak atap dan merupakan tempat berdoa yang paling efektif. Nasi tumpeng juga berbentuk kerucut, dan puncaknya dipersembahkan kepada pimpinan tertinggi dalam acara ritual. Payung kraton bertingkat tiga juga menggambarkan tingkatan dari kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu.

Istilah kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu adalah tingkatan dari gunung. Bagian kaki melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu,keinginan yang rendah, yaitu dunia manusia biasa.

Bagian tengah melambangkan Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan merupakan “alam antara” yang memisahkan “alam bawah” (kamadhatu) dengan “alam atas” (arupadhatu). Bagian atas, Arupadhatu, yaitu “alam atas” atau nirwana, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa.
Jadi bentuk T‐Rex adalah gunungan secara kontemporer yang mengawali sebuah titik permulaan. Simbol kedua adalah bambu yang dianyam menjadi patung T‐rex. Bambu itu liat dan lentur. Meskipun berakar serabut, pohon bambu tahan terhadap terpaan angin kencang, dengan kelenturannya dia mampu bergoyang bak seorang penari balet, fleksibilitas itu lah bambu. gerak yang mengikuti arus angin ,tetapi tetap kokoh berdiri di tempatnya mengajarkan kita sikap hidup yang berpijak pada keteguhan hati dalam menjalani hidup walau penuh cobaan dan tantangan, namun tidak kaku.

Bambu juga dapat di simbolkan sebagai sebuah siklus hidup manusia, contohnya setelah tunas tumbuh lalu keluar lah rebung, dan lalu besar bertunas dan menjulang tinggi. ini mengajarkan bagaimana kita perlu proses untuk menjadi lebih baik, dengan kesabaran, ketekunan, kegigihan dalam berusaha. Itu lah yang akan menjadi pintu kesuksesan seseorang.

Walaupun mungkin standar kesuksesan berbeda setiap orang, tapi itu bisa mengajarkan kita bagaimana cara berproses, hidup bukan sesuatu yang instan tapi dia berproses, tinggal bagaimana kita bisa menjadikan proses ini menjadi lebih berguna bagi kita semua.

Manfaat bambu yang sangat luar biasa, menjadikan juga bambu sebagai sebuah bahan baku ramah lingkungan dan yang selalu terbarukan. Siklus dan proses yang disimbolkan oleh bambu menjadi inti perjalanan spiritual kita bersama saat berpuasa. Menemukan diri kita yang sesungguhnya dan melahirkannya kembali dalam sebuah kesucian yang baru. Yang lebih baik. Yang lebih manusiawi.

Simbol terakhir adalah motif batik parang. Motif batik parang memiliki filosofi yang sangat dalam terkandung di dalamnya dan tidak sesederhana motifnya. Parang berasal dari kata pereng, yang berarti lereng. Perengan menggambarkan sebuah garis menurun dari tinggi ke rendah secara diagonal.

Susunan motif leter S jalin‐menjalin tidak terputus melambangkan kesinambungan. Bentuk dasar leter S diambil dari ombak samudra yang menggambarkan semangat tidak pernah padam. Batik parang memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi berupa petuah agar tidak pernah menyerah sebagaimana ombak laut yang tak pernah berhenti bergerak. Batik parang pun menggambarkan jalinan yang tidak pernah putus, baik itu dalam arti upaya memperbaiki diri, upaya memperjuangkan kesejahteraan, maupun bentuk pertalian keluarga di mana batik parang di masa lalu merupakan hadiah dari bangsawan kepada anak‐anaknya.

Dalam konteks tersebut, motif parang mengandung petuah dari orang tua agar melanjutkan perjuangan yang telah dirintis. Garis lurus diagonal melambangkan rasa hormat dan keteladanan, serta kesetiaan pada nilai‐nilai kebenaran Introspeksi diri, menyadari proses dan siklus kedewasaan, serta perjuangan dengan semangat tidak pernah padam menjadikan BAMBOO SAURUSS, sungguh sebuah perjalanan spiritual yang unik di bulan puasa ini. Rencananya BAMBOO SAURUSS setelah dipamerkan akan dilelang dan hasilnya akan disumbangkan untuk misi‐misi social (dwt).

Senin, Agustus 01, 2011

Mengunjungi Roemah Pelantjong Djogdjakarta

Sumber: Nova
"Monggo pinarak," sambut para pemandu di Roemah Pelantjong.
"Hari ini Sabtu 18 Juni 2011, kami para pemangku Roemah Pelantjong dengan segala kerendahan hati memproklamirkan Djokdjakarta sebagai ibukota pelan di dunia. “

Begitu semacam prasasti yang terlihat di dinding Roemah Pelantjong, semacam pasar swalayan di Yogyakarta. Roemah Pelantjong yang menempati lahan sekitar 1.500 meter pesegi menjadi sebuah tempat unik di kota budaya ini. Roemah Pelantjong yang berslogan Yogyakarta Slowly Asia digagas oleh Kafi Kurnia dan mengajak bekerja sama seniman Yogyakarta seperti Ahmad Faisal Ismail.

Kafi Kurnia terkesan dengan filosofi hidup orang Yogyakarta yaitu hidup “Alon-alon Maton Kelakon” yang artinya pelan-pelan yang penting terlaksana. “ Sebuah filosofi yang sering disalah tafsirkan, menjadi gaya hidup pelan-pelan saja. Alias semuanya serba lambat. Padahal filosofi hidup ini, mengajarkan sebuah gaya hidup yang penuh perhitungan, “goal oriented” dan hidup satu irama dengan waktu. Hidup yang tenteram, sentosa, dan sejahtera.

Menurut Ahmad Faisal, ketika dalam perjalanan ke luar negeri, Kafi sering mengampanyekan ide ini dan mendapat sambutan hangat. Semacam aksi untuk meletakkan Jogja di peta industri turisme dunia yang memiliki keunikan budaya, keindahan alam, serta memilikii kualitas hidup yang tinggi. “Agar turis dan konsumen bisa menikm

Menempati lokasi strategis di Jalan Magelang km 8, Roemah Pelantjong didesain artistik bekerja sama dengan para seniman. Dindingnya dipenuhi seni mural, lukisan wayang yang khas Yogyakarta. Karakater kartun Mail yang dimuat secara berkala di Harian Kompas, Sukribo, juga banyak menghiasi dinding ruangan. Tentu saja, “Dipajang pula banyak produk seni yang pembuatannya mesti pelan tidak bisa instan seperti tenun, rajutan, dan bati k tulis yang dibuat dengan pelan dan kesungguhan,”papar Mail.

Lantaran bersemangat pelan ini, salah satu hiasannya adalah sepeda onthel, kendaraan pelan yang menyehatkan itu. “Kami juga melengkapinya dengan galeri seni, karena Jogja tidak bisa lepas dari itu,” lanjutnya.

Roemah Pelantjong juga dilengkapi kafe dan ruang food court. M. Tabrany, chef di Roemah PPelantjong menuturkan, salah satunya ia mendesain kafe dengan konsep angkringan. “Angkringan, kan, identik dengan mekanisme pelan. Di sini, saya membuat minuman juga dengan irama pelan,, kembali ke masa lalu. Misalnya memasak air dengan menggunakan anglo. Mulai membakar api, menjerang air tidak instan. Memang selama pengalaman menjadi chef, metode memasak yang paling natural dan kembali ke alam, akan menghasilkan cita rasa yang sempurna. Nah, teh cencem ini diminum dengan pakai gula batu. Mesti pelan, kan, tidak bisa langsung jadi seperti gula pasir. Rasanya sudah pasti nikmat,” kata Tabrany.

Tabrany melanjutkan, ia juga ingin mengangkat soto sebagai kekhasan kuliner Yogyakarta. “Sekarang ini terkenal soto lamongan, soto Kudus, soto Betawi, tapi tidak ada soto Jogja. Makanya, Roemah Pelantjong menghidangkan soto Jogja yang punya identitas khas. Berisi daging, kikil, dan jeroan, kuah soto Jogja menurut Tabrany, rasanya asam pedas. “Sayurannya juga berbeda, yaitu antara lain menggunakan wortel, buncis, kentang potong kotak. Dijamin memang beda dengan soto lainnya.”


Meski belum lama buka, Roemah Pelantjong sudah mendapat respons positif dari pengunjung. Hanya saja, menurut Mail, masih perlu terus pembenahan. Misalnya saja mewujudkan Minioboro, plesetan Malioboro, yang menafaatkan selasar di Roemah Pelantjong dengan menggandeng para UKM. Nah, kalau Anda ingin menikmati suasana ibukota pelan sedunia, tak ada salahnya mampir ke Roemah Pelantjong.

Henry