Senin, Agustus 01, 2011

Mengunjungi Roemah Pelantjong Djogdjakarta

Sumber: Nova
"Monggo pinarak," sambut para pemandu di Roemah Pelantjong.
"Hari ini Sabtu 18 Juni 2011, kami para pemangku Roemah Pelantjong dengan segala kerendahan hati memproklamirkan Djokdjakarta sebagai ibukota pelan di dunia. “

Begitu semacam prasasti yang terlihat di dinding Roemah Pelantjong, semacam pasar swalayan di Yogyakarta. Roemah Pelantjong yang menempati lahan sekitar 1.500 meter pesegi menjadi sebuah tempat unik di kota budaya ini. Roemah Pelantjong yang berslogan Yogyakarta Slowly Asia digagas oleh Kafi Kurnia dan mengajak bekerja sama seniman Yogyakarta seperti Ahmad Faisal Ismail.

Kafi Kurnia terkesan dengan filosofi hidup orang Yogyakarta yaitu hidup “Alon-alon Maton Kelakon” yang artinya pelan-pelan yang penting terlaksana. “ Sebuah filosofi yang sering disalah tafsirkan, menjadi gaya hidup pelan-pelan saja. Alias semuanya serba lambat. Padahal filosofi hidup ini, mengajarkan sebuah gaya hidup yang penuh perhitungan, “goal oriented” dan hidup satu irama dengan waktu. Hidup yang tenteram, sentosa, dan sejahtera.

Menurut Ahmad Faisal, ketika dalam perjalanan ke luar negeri, Kafi sering mengampanyekan ide ini dan mendapat sambutan hangat. Semacam aksi untuk meletakkan Jogja di peta industri turisme dunia yang memiliki keunikan budaya, keindahan alam, serta memilikii kualitas hidup yang tinggi. “Agar turis dan konsumen bisa menikm

Menempati lokasi strategis di Jalan Magelang km 8, Roemah Pelantjong didesain artistik bekerja sama dengan para seniman. Dindingnya dipenuhi seni mural, lukisan wayang yang khas Yogyakarta. Karakater kartun Mail yang dimuat secara berkala di Harian Kompas, Sukribo, juga banyak menghiasi dinding ruangan. Tentu saja, “Dipajang pula banyak produk seni yang pembuatannya mesti pelan tidak bisa instan seperti tenun, rajutan, dan bati k tulis yang dibuat dengan pelan dan kesungguhan,”papar Mail.

Lantaran bersemangat pelan ini, salah satu hiasannya adalah sepeda onthel, kendaraan pelan yang menyehatkan itu. “Kami juga melengkapinya dengan galeri seni, karena Jogja tidak bisa lepas dari itu,” lanjutnya.

Roemah Pelantjong juga dilengkapi kafe dan ruang food court. M. Tabrany, chef di Roemah PPelantjong menuturkan, salah satunya ia mendesain kafe dengan konsep angkringan. “Angkringan, kan, identik dengan mekanisme pelan. Di sini, saya membuat minuman juga dengan irama pelan,, kembali ke masa lalu. Misalnya memasak air dengan menggunakan anglo. Mulai membakar api, menjerang air tidak instan. Memang selama pengalaman menjadi chef, metode memasak yang paling natural dan kembali ke alam, akan menghasilkan cita rasa yang sempurna. Nah, teh cencem ini diminum dengan pakai gula batu. Mesti pelan, kan, tidak bisa langsung jadi seperti gula pasir. Rasanya sudah pasti nikmat,” kata Tabrany.

Tabrany melanjutkan, ia juga ingin mengangkat soto sebagai kekhasan kuliner Yogyakarta. “Sekarang ini terkenal soto lamongan, soto Kudus, soto Betawi, tapi tidak ada soto Jogja. Makanya, Roemah Pelantjong menghidangkan soto Jogja yang punya identitas khas. Berisi daging, kikil, dan jeroan, kuah soto Jogja menurut Tabrany, rasanya asam pedas. “Sayurannya juga berbeda, yaitu antara lain menggunakan wortel, buncis, kentang potong kotak. Dijamin memang beda dengan soto lainnya.”


Meski belum lama buka, Roemah Pelantjong sudah mendapat respons positif dari pengunjung. Hanya saja, menurut Mail, masih perlu terus pembenahan. Misalnya saja mewujudkan Minioboro, plesetan Malioboro, yang menafaatkan selasar di Roemah Pelantjong dengan menggandeng para UKM. Nah, kalau Anda ingin menikmati suasana ibukota pelan sedunia, tak ada salahnya mampir ke Roemah Pelantjong.

Henry

Tidak ada komentar:

Posting Komentar