Senin, November 21, 2011

Kartika pun Menyoal Keperjakaan

PADA awal Agustus 2002 lalu, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Latihan Bisnis dan Humaniora (LSC&K Pusbih), IipWijayanto, membeberkan kepada wartawan di DPRD DIY, bahwa 97,05 persen mahasiswi dari 1.660 responden di Yogyakarta tak lagi perawan. Dengan kata lain, persentase tersebut menunjukkan, mayoritas mahasiswi di Yogyakarta pernah melakukan inter-course seks pranikah selama kuliah.

Nyaris ingin menggambarkan kisah serupa, Kartika Catur Pelita, justru mengungkap sebaliknya. Novelis asal Jepara ini meluncurkan novel perdananya berjudul Perjaka. "Novel perdana ini saya tulis berdasarkan fenomena tentang arti keperjakaan. Sebab, yang sering digunjingkan itu berkenaan dengan keperawanan dan belum ada yang menguak mengenai keperjakaan," demikian ia menerangkan novel setebal sekitar 200 halaman dan diterbitkan oleh Andalan Krida Nusantara ini.

Tema keperjakaan berdekatan dengan seluk-beluk kehidupan remaja masa kini yang lazim terjerat kasus seks bebas. Demikian halnya dengan keperawanan, keperjakaan juga perlu dipertanyakan.

"Novel ini adalah ide yang telah mengendap sejak lama. Nyaris diterbitkan pada 2009 namun gagal, akhirnya melalui beberapa lobi, novel ini hadir juga di khalayak," tuturnya lega.

Jumat  (18/11) malam di Roemah Pelantjong, Perjaka diluncurkan. Dihadirii Kafi Kurnia, Aliya Swastika, dr. Budi Pratiti, dan Sholahuddin Noorazmy. "Novel yang paling kocak dan paling lucu pada abad ini," ucap Kafi Kurnia.

Sepertinya, penulis ingin mengungkap fenomena kehidupan seks kaum remaja lewat buku ini, namun kemasannya sengaja dibuat jenaka, sehingga sedikit mengurangi tensi sebagian masyarakat yang sensitif terhadap masalah seks dan kebebasannya.

Tentu, tampak dari niat yang gigih, penulis ingin menjadikan buku ini sebagai tuntunan positif melalui konflik dan dialog yang disuguhkan.

Bagaimanapun, berbicara mengenai keperjakaan memang terasa awam di telinga mayoritas masyarakat. Sebaliknya, keperawanan menjadi cibiran klasik yang terkadang membuat sekat labirin antara perilaku remaja pria dan wanita.

Perjaka seolah berusaha mengikis ketidakadilan posisi keperawanan dan keperjakaan dalam dunia nyata lewat banyolan Kartika Catur Pelita. (Sigit Widya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar