Foto-foto: tuyuloveme.blogspot.com |
KARYA street art seringkali dipandang sebelah mata. Terpampang di pinggir jalan tanpa apresiasi yang layak. Tak jarang, karya tersebut dianggap merusak keindahan kota karena dilukis pada tembok-tembok yang menjadi ruang publik.
Parahnya, seniman street art dituding sebagai pelaku kriminal karena dianggap berbuat vandalisme. Pandangan salah tersebut coba diluruskan dalam ‘Djogjakarta Slowly Asia’ yang digelar di Rumah Pelantjong mulai Kamis (20/10).
Seniman street art Yogya diwadahi untuk berkarya dalam ‘kanvas’ tembok sepanjang 700 meter persegi. Mereka yang turut dalam pergelaran ini, Sucktrash, What1204, Nside, Vayne, Muck, Oaker, Nick, Ant, Oyster, Bigshow, Tragic, Blame, Rubseight dan Tuyuloveme.
Tema besar yang diangkat, menjadikan Yogya sebagai ibukota Pelan. Kurator Djogjakarta Slowly Asia, Kafi Kurnia mengungkapkan bahwa karya street art menampilkan kejujuran karena dipajang di jalanan dan berada di ranah publik. Seniman street art berkarya untuk mengubah paradigma negatif menjadi hal positif.
“Tentunya karya seni tersebut harus dinikmati dengan pelan, karena ukuran karya seringkali teramat besar,” ujarnya. Pelan di sini, berbeda dengan lambat. Pelan bermakna menikmati kehidupan dengan kemewahan. Pasalnya, manusia saat ini cenderung tergesa-gesa dalam melakoni apa pun karena merasa tidak memiliki waktu banyak.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar